Tobatabo
 
Posted 20-10-2013 22:33  » Team Tobatabo

Danau Toba Kini, si Jelita yang ditinggal pergi para partandang-nya

 

Suara malam yang hingar bingar, para wisatawan yang lalu lalang, suaran ceria para penabuh gendang dan musik, suara tawa lepas dan ceria pada malam hari. Itulah pemandangan tahun 2001 yang saya lihat saat berkunjung ke tuktuk pertama sekali saat saya masih SMA. 10 Tahun berlalu 2011 saya berkunjung kembali, tapi hanya kedai dan tavern sepi yang saya temui disana. Restauran yang hanya dikunjungi 1-2 orang. Senyum kecut repsepsionis hotel menyambut saya ketika saya bertanya mengapa sekarang daerah ini begitu sepi. Jauh dari banyangan saya 10 tahun yang silam.

Danau Toba kini tidak seramai dulu. Tidak banyak lagi anak muda bercengkerama dan bernyanyi di pinggir danau seperti di masa lalu. Menurut Hamonangan Sirait (57), seniman dan juga Ketua Sanggar Nauli di Parapat, anak- anak muda yang tinggal di sekeliling Danau Toba memilih pergi mencari penghidupan ke kota lain. ”Di sini tidak menjanjikan hidup karena pariwisatanya sudah mati,” tuturnya.

Mereka yang memilih tinggal di Danau Toba sekarang ini sebagian besar adalah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Industri pariwisata yang mati tidak bisa menopang hidup para seniman yang lahir di Danau Toba. Mereka yang punya kemampuan bermusik dan bernyanyi merantau ke daerah lain yang industri pariwisatanya bergairah, seperti Jakarta, Bali, dan Lombok. Di sana mereka menjadi penyanyi di hotel-hotel berbintang dan kafe. Sebagian pengusaha hotel dan penginapan yang dulu ramai kembali menjadi petani atau petambak ikan. Sebagian lagi mencoba peruntungan dengan membuka hotel di tempat wisata lain, seperti Bali dan Lombok. Merosotnya sektor pariwisata di Danau Toba, kata Hamonangan, sudah terasa sejak pertengahan periode 1990-an. Kondisi ini diperparah dengan krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998, diikuti gangguan keamanan, seperti bom di Jakarta dan Medan.

Selain keindahan alam, kawasan Danau Toba kaya dengan situs peninggalan sejarah. Di Pulau Samosir, wisatawan bisa mengunjungi situs batu sidang di Ambarita, makam kuno orang Batak di Tomok, situs perkampungan tua di Simanindo, dan lain-lain. Sayangnya, budaya masyarakat yang masih kental dengan tradisi belum dieksplorasi dengan baik sehingga menjadi suguhan bergizi bagi para wisatawan.

Salah satu daerah di Pulau Samosir yang masih dikunjungi wisatawan adalah Tomok dan Tuk Tuk. Meski begitu, kata Mangiring, jumlah turis yang datang ke Tomok sangat merosot. Padahal, dulu turis asing yang datang ke Tomok rela tidur hanya menggunakan jaring yang dipasang di antara dua batang pohon (hammock). Ada juga yang membawa tenda karena semua penginapan milik warga Desa Tomok penuh dengan turis. Karena banyak turis asing, transaksi ekonomi di desa yang kini berpenduduk 6.000 jiwa ini lebih banyak menggunakan dollar Amerika Serikat. ”Turis membeli rokok, sabun, atau sandal jepit dengan dollar itu sudah biasa,” tutur Mangiring. Kehidupan wisata sedikit bergairah di Tuk Tuk. Kawasan berbentuk peninsula ini lokasinya sekitar 7 kilometer dari Tomok. Desa ini jadi pusat kegiatan wisatawan asing yang ingin melewatkan malam di Samosir.

Selain penginapan, Tuk Tuk pada malam hari terasa lebih hidup, dengan deretan kafe, bar, dan restoran yang buka mulai pukul 18.00. Menurut Julieti (30), pekerja Today’s Café di Tuk Tuk, turis asing yang datang ke Tuk Tuk kebanyakan berasal dari Belanda, Perancis, Jerman, dan Amerika. Di sisi lain, kawasan Danau Toba yang ditinggalkan menyisakan puing-puing bangunan bekas resor, vila, ataupun penginapan sekelas losmen dan hostel. Beberapa kafe, bar, dan ruang pajang rental motor/mobil dibiarkan terbengkalai begitu saja. Dulu, dari kafe dan bar inilah seniman-seniman lokal menghibur tamu. Suara alat musik tradisional gondang, taganing, seruling, berbaur dengan gitar dan keyboard, mengalun di pesisir Danau Toba yang kini merana ditinggalkan penghuninya. Kini semua seolah tinggal puing berdebu, tinggal kenangan kelabu.

Dikutip dari berbagai sumber