Saking Cinta dengan Budaya Batak Manguji Nababan Berburu Buku hingga ke Eropa
Manguji Nababan, pria kelahiran Humbang Hasundutan, 3 April 1971 ini tak dapat menutupi rasa ingin tahunya dengan budaya Batak.
Pria yang menjabat sebagai Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak di Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan ini sejak tahun 2003 banyak mengkoleksi buku yang berhubungan dengan kebudayaan Batak.
Tidak hanya itu, kecintaannya kepada adat dan budaya batak juga membuat dirinya terus belajar hingga ke negara-negara Eropa seperti, Belanda, Selandia Baru hingga Belanda. Di negara-negara Eropa itu ia menyinggahi museum-museum, dimana di dalamnya tersimpan dokumen-dokumen batak kuno.
“Saya pastikan jika saya kebetulan berada di negara Eropa untuk suatu pekerjaan, entah itu untuk menerjemahkan aksara batak atau menulis, saya juga pasti singgah ke museumnya. Karena, saya tahu di museum tersimpan dokumen budaya batak.Dari informasi yang saya dapatkan di museum-museum itulah, dokumennya bisa saya simpan di Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak UHN ini,” ujarnya, Senin (16/7/2018).
Selain mengumpulkan pendokumentasian di Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak UHN, Manguji juga melatih guru menulis aksara batak secara manual dan komputer di daerah-daerah.
Ia kerap melatih para guru sejak tahun 2005 dengan harapan apa yang telah diajarkan dapat ditularkan kepada murid-muridnya.
“Saat ini, saya merasa anak-anak kurang memahami aksara batak karena mereka tidak mencintai budayanya. Untuk itu, saya memberi pemahaman kepada guru-guru yang saya latih bahwa mencintai budaya itu sangat penting. Karena, jika kita tidak mencintai kita tidak akan pernah memahami,” kata pria pemegang sertifikat dari Departemen Lecture Selandia Baru ini.
Menurutnya,semua itu adalah bentuk keprihatinannya dengan kondisi kearifan lokal yang sudah banyak ditinggalkan oleh anak bangsa terutama suku Batak.
Manguji menjelaskan, ia juga telah menuangkan isi pikirannya tentang moralitas kedalam karyanya yakni, buku Torsa torsa Hombung dengan menggunakan bahasa arkaik atau bahasa Batak kuno.
Buku yang diterbitkan tahun 2015 ini telah diidentifikasi ke etnis Batak dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa jerman yang sudah dibukukan.
“Buku ini depositnya kearifan lokal, sehingga situasi bangsa berbasis moral. Padahal, moral itu ada didalam cerita rakyat. Kita seolah-olah, orang Indonesia tapi tidak mencerminkan orang Indonesia. Kearifan lokal itu sebenarnya sarat dengan ajaran moral yang luhur, tapi itu semua sudah memudar seiring perkembangan zaman. Saya ingin membatakkan Batak melalui buku ini,”tuturnya.
Tidak hanya menuliskan buku Torsa torsa Hombung, Manguji juga banyak melakukan penerjemahan naskah bahasa Jerman kedalam Bahasa Batak.
Bahkan, saat tur ke Jerman ia mengaku pernah menuliskan naskah pertujukan opera Perempuan Dipinggir Danau kedalam bahasa Batak.
Selain itu, ia juga sering dijadikan narasumber diluar negeri khusus untuk menerjemahkan naskah kedalam bahasa Batak kuno.
“Tujuannya untuk menunjukkan bahawa orang Batak itu memiliki tradisi menulis aksara Batak yang tidak mudah dipahami orang lain. Saya juga pernah diminta untuk membuat buku dengan aksara Batak dari kulit kayu alim sepanjang 6,25 meter dan dipamerkan di Jerman,” ucapnya.
Menurutnya, menjaga nilai-nilai tradisi Batak, salah satu budaya kearifan lokal di Indonesia sangat penting.
Pasalnya, nilai-nilai kearifan lokal saat ini sudah hampir memudar dan harus direvitalisasi sesuai kemampuan tiap-tiap indviidu. Misalnya, bisa melalui permainan rakyatnya. Karena, menurut Manguji, kearifan lokal di Indonesia ini terkenal dengan permainan rakyatnya. Itu artinya, permainan rakyat harus dihidupkan kembali.
“ Misalnya, tradisi bangsa kita makan sirih. Kalau kita tahu apa tradisi kita, makan sirih itu sebenarnya alat aksesoris untuk menjalin hubungan orang Batak atau simbol budaya Indonesia yang paling universal. Tapi, sekarangkan sudah banyak ditinggalkan. Hal yang seperti itu jangan sampai hilang,” katanya.