Tobatabo
 
Posted 03-06-2017 13:19  » Team Tobatabo

Elegi dan Makna Sebutan Sitapuleong (Sitapu Haleo)

 
Foto Caption: Seorang Gadis Cilik Memetik Daun Genjer Untuk Dijual ke Pasar

Sore itu sebelum mandi, Liona tiba-tiba berseru dari jendela kamar "Kakak...lagi apa?". Mendengar seruan Liona kemudian ibunya melirik ke samping rumah dan menjawab "Kakak itu lagi ambil sayur". Kemudian Liona berseru lagi memanggil dari balik kaca jendela, tapi sepertinya yang dipanggil Kakak tidak mendengar seruan Liona tetap asik dengan kerjaannya.

Penasaran dengan aksi Liona kemudian aku bersingut dan melirik ke jendela samping rumah. Tampak seorang gadis kecil umur 13-15 tahun sedang asik memetik daun Genjer muda atau sering di sebut Haleo dalam bahasa Batak. Kemungkinan akan dijual esokan harinya setelah dipetik sore hari untuk menjaga kesegarannya.

Aku kembali teringat dengan istilah "Sitapuleong" dalam bahasa Batak yang berarti sebutan untuk orang yang dianggap tidak berguna. Asal sebutan ini sebenarnya dari "Si tapu haleo" sebutan untuk orang yang kerap bekerja memetik daun Genjer untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah dijual dipasar.

Kebiasaan memetik haleo atau gejer kerap dilakukan masyarakat desa pada musim pasca panen dan kemarau panjang. Memetik haleo identik buat para kaum kurang berada yang menjadikan kebiasaan ini sebagai pekerjaan sementara agar mampu menjaga dapur tetap ngebul.

Tak jarang pula haleo dipetik untuk dikonsumsi sendiri sebagai pengganti sayur. Dalam syair lagu "Genjer-Genjer" yang jadi trade mark Orde Baru untuk PKI, kebiasaan mengkonsumsi genjer seolah jadi pakem buat masyarakat miskin. Lirik lagu yang mengambarkan kesederhanaan hidup kaum petani yang kerap hanya merebus daun genjer dipadu dengan sambel, seolah mengekspresikan rasa melankolis pedih dan haru para petani dalam menghadapi krisis ekonomi pada tahun 60-an. Tak pelak lagu ini dibaiat jadi salah satu lagu perjuangan PKI saat itu yang lebih berkiblat dengan paham Marxisme-nya.

Pergeseran makna di jaman modern membuat sebutan Sitapuleong menjadi konotasi negatif membuat perasaan saya jadi miris kala melihat pemandangan sore itu...

Seorang gadis kecil yang hanya berusaha membantu ekonomi keluarga sebagai "Sitapuleong" sebuah predikat yang melekat akibat keadaan ekonomi yang memprihatinkan.

Paling miris jikalau kelak seorang mengumpat Sitapuleong kepada diri kita dan ternyata benar itu apa adanya...

Aku sengaja tidak menyapa dan hanya mengambil foto ini dari balik kaca jendela. Takut gadis remaja itu bakal malu dan tak akan pernah lagi datang memetik genjer disamping rumah.

Hanya berdoa kelak bisa membantu secara langsung tak langsung...

Penulis:

Ondo Alfry Simanjuntak

Batubara, 4 Juni 2017