Belajar Toleransi dari Peradaban Islam Tertua di Nusantara
Jakarta - Kecamatan Barus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, merupakan pusat peradaban Islam tertua di Nusantara. Terdapat makam-makam penyebar agama Islam dan juga saudagar asal Arab di wilayah tersebut.
Presiden Jokowi mengunjungi kompleks pemakaman Mahligai Barus pada Jumat, 24 Maret 2017. Menurut Jokowi, pemakaman itu adalah bukti eratnya hubungan Nusantara (kini Republik Indonesia) dengan Timur Tengah.
"Pemakaman Mahligai Barus, di Desa Sihorbo, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara bukan sekadar obyek wisata sejarah dan religi. Ia juga menjadi penanda bahwa hubungan antara Indonesia dan Timur Tengah sudah berlangsung sangat lama, sejak abad ke-6. Satu nisan di pemakaman Mahligai ini bertuliskan: Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 Masehi atau tahun 48 Hijriah. Itu baru seabad setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu ada sejumlah makam ulama asal Timur Tengah di kompleks pemakaman seluas tiga hektare ini," tulis Jokowi lewat akun Facebook resminya.
Para saudagar Timur Tengah memang sengaja datang ke Barus karena tertarik untuk mendapatkan kamper. Orang-orang Arab menyebutnya dengan istilah Camphor Fansuri. Wilayah Barus juga dikenal dengan nama Fansuri oleh orang Arab. Fansuri diambil dari kata Pancur yang juga menjadi julukan bagi Barus.
Dalam tulisan Jane Drakard yang berjudul 'An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus' pada tahun 1989 dalam jurnal Archipel Volume 37, disebutkan bahwa tak hanya bangsa Arab saja yang datang ke Barus. Saudagar China pun berdatangan ke Barus. Mereka menyebut Barus dengan nama P'0-lu.
Kemasyuran kamper dari Barus atau dalam bahasa Melayu disebut Kapur Barus memang terkenal ke berbagai penjuru dunia. Barus bisa dibilang menjadi pelabuhan internasional kala itu karena posisinya di pantai barat Sumatera Utara.
Dalam buku 'Lobu Tua: Sejarah Awal Barus' yang disunting oleh seorang peneliti asal Prancis Claude Gulliot yang dikutip Redaksi, tak hanya pedagang dari Arab, bahkan di Barus juga sudah berdatangan para pedagang dari Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Keanekaragaman suku bangsa yang datang ke Barus terbukti dengan adanya catatan-catatan berbahasa Arab, Yunani, Suriah, Tamil, Melayu, Jawa, hingga Armenia tentang Barus.
Tulisan yang merupakan hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa telah ada kehidupan multi-etnis di Nusantara sejak abad ke-6 atau ke-7 Masehi. Setidaknya kehidupan multi-etnis di sana berjalan harmonis sebelum akhirnya tiba masa kolonial.