Cari

Warga Parmalim Terpaksa Kosongkan Agama Mereka di KTP

Posted 30-06-2015 11:07  » Team Tobatabo

Foto: Paul Sitorus warga Desa Sampuara Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir perlihatkan KTP dimana kolom agama terpaksa dikosongkan

Perkenalkan dia Paul Sitorus warga Desa Sampuara Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir. Dia merupakan satu dari sekian banyak penganut agama Parmalim. 

Tapi lihat saja dari kartu tanda penduduk (KTP) yang mereka gunakan. Mereka lebih memilih mengosongkan kolom agama dalam KTP mereka dari pada disuruh memilih agama yang banyak eksis di Sumatera Utara, Islam atau Kristen.

"Saya diberi pilihan memilih agama Islam atau Kristen, tapi karena saya percaya Parmalim. Mereka (pemerintah) tidak bisa menaruh kepercayaan saya di KTP. Saya bilang, kalau gitu kosongkan aja," kata Paul.

Satu dari sekian kelompok yang tidak diakui pemerintah sebagai agama resmi melainkan aliran kepercayaan ialah para penganut Ugamo Malim, lebih dikenal sebagai Parmalim. Sehingga mereka menganggap diri mereka belum merdeka.

Memang mereka bebas menjalankan ritual agamanya. Namun saat berhadapan dengan aparat pemerintahan, mereka tidak merdeka.

Contohnya saat mengurus surat-surat kependudukan, mereka terpaksa memilih agama lain, biasanya Islam atau Protestan. Tentu tak terbayangkan betapa sakitnya batin mereka karena harus membohongi nurani sebagai pengikut Parmalim.

“Banyak teman terpaksa memilih Islam dan Kristen agar surat-suratnya keluar. Memang sakit. Nurani kami dibantai,” ujar Monang Naipospos, Sekretaris Parmalim, saat ditemui di rumahnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, beberapa waktu lalu seperti yang dikutip sumaterakita.blogspot.com.

Warga Parmalim di seluruh Indonesia umumnya kesulitan mendapatkan KTP dan akte perkawinan.

Naipospos mencontohkan seorang pria pengikut Parmalim di Propinsi Papua yang bekerja di PT Freeport. Kala itu dia menikah secara Parmalim di Laguboti dan diberi surat bukti perkawinan oleh pengurus Parmalim.

Tapi surat perkawinan ini tidak diakui pihak Kantor Catatan Sipil (Capil) di sana, sehingga akte perkawinan pun tidak terbit.

Capil lalu meminta yang bersangkutan mengurus surat dari pengadilan negeri (PN) bahwa perkawinan mereka sah. Surat dari PN ternyata diberikan, tapi tetap juga Capil tidak membuat akte tersebut.

“Padahal akte itu sangat perlu untuk mengurus tunjangan bagi istrinya dari perusahaan tempatnya bekerja,” kata Naipospos.

Alasan pejabat pemerintah dari kantor kecamatan maupun Catatan Sipil tidak mudah memberikan surat kependudukan bagi mereka ialah adanya surat edaran Menteri Dalam Negeri pada 1995 yang melarang dikeluarkannya akte perkawinan bagi penganut aliran kepercayaan.

Akhirnya kebanyakan warga Parmalim memilih tunduk pada peraturan birokrasi asalkan urusannya selesai.

Seperti mengurus KTP, banyak mereka yang mencantumkan agama Islam. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Batam, lanjut Monang Naipospos, warga Parmalim harus memilih satu dari lima agama resmi karena sistem komputerisasi KTP mengharuskan demikian.

Paling banyak mereka memilih Islam dan bukan Kristen. “Saya tidak tahu kenapa lebih banyak pilih Islam,” katanya saat ditanya.

Di beberapa daerah yang KTP-nya masih diketik manual memang kadang bisa diperoleh KTP dengan mencantumkan “Parmalim” pada kolom agama.

“Tapi itu pun tergantung camatnya.”

Di Tobasa sendiri umumnya jemaat Parmalim harus memilih satu dari lima agama resmi agar diberi KTP.

Dalam hal ini Naipospos agak istimewa. Dia tidak pernah dipersulit mengurus KTP dan agamanya pun tidak diubah. Mungkin karena dia termasuk tokoh Parmalim dan punya akses ke birokrasi. “Mungkin begitu,” ucapnya.

Parmalim adalah agama pertama orang Batak sebelum masuknya Islam dan Kristen ke kawasan Tapanuli.

Tokoh besar yang menjadi penganut Parmalim generasi pertama adalah pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja

Sumber Tribun Medan