Patung Primitif Batak : Simbol Legitimasi Kekuasaan
Dari berbagai kekayaan kesenian Batak, seni patung primitif merupakan salah satu produk yang nyaris terlupakan. Perhatian para peneliti selama ini selalu tertuju pada system masyarakat, sistem religi, hukum adapt, sastra dan musiknya. Akibatnya, eksitensi patung primitif terpinggirkan, walau patung merupakan jenis kesenian yang tahan lama dan sarat makna.
Hal ini dikatakan Daulat Saragi, dalam disertasinya yang berjudul “Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak,” yang dipertahankan pada ujian terbuka di gedung Pascasarjana UGM.
“Masyarakat Batak lama selalu menghadirkan patung pada suatu ritus dan menempatkan pada suatu wilayah suci dan keramat, karena diyakini sebagai simbol atau medium suatu kekuatan yang transenden,” ujar Daulat Saragi yang saat ini berhak menyandang gelar Doktor.
Ditambahkan Daulat Saragi, paduan motif antropomorfis dan zoomorfis pada patung Tunggal Panaluan dan Pangulubalang sangat bersahaja sebagai simbol adanya kekuatan adikodrati yang dipercaya mampu melindungi marga, rumah, desa dan menolak bala demi kelangsungan kosmis.
Dikatakan lebih lanjut oleh Daulat Saragi, dosen pada jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Medan ini, makna simbolis patung primitif Batak – yang masih banyak dijumpai di sekitar pulau Samosir – berhubungan dengan pandangan hidup. Sebagai simbol presentasional atau penghadir, kata Daulat Saragi, harus dipahami bukan sekedar patung untuk patung, tetapi terdapat makna yang lebih luas dan mendalam di balik patung itu sendiri.
“Patung primitif Batak merupakan bentuk virtual space atau gambaran dari mitos yang menyebar dalam kehidupan masyarakat. Patung primitif sebagai living form dari ide-ide transenden menjadi imanen,” ujar lelaki kelahiran Pematang Siantar tahun 1964.
Dalam penjelasannya, Daulat Saragi mengemukakan, patung merupakan simbol legitimasi kekuasaan. Penempatan suatu jenis patung pada suatu wilayah yang jauh dari kampong, seperti di atas bukit atau di tengah hutan, di samping tujuannya menghormati roh leluhur, juga secara politis berfungsi sebagai klaim wilayah kekuasaan suatu huta (kampong).
“Mitos-mitos parabolis menjadi bumbu kehadiran patung, sehingga patung diyakini memiliki power legitimacy,” katanya lagi.
Demikian pula, lanjut Daulat Saragi, kehadiran patung dipercaya mampu memonitor kehidupan warga, memberikan informasi dan sekaligus menghukum orang-orang yang melanggar tertib kosmis.
“Manusia tidak mampu lari dari kekuatan anima (jiwa) patung. Ia selalu tunduk dalam kesadaran kosmis, tidak berdaya untuk menembus realitas di balik nilai-nilai patung primitif itu,” kata Daulat Saragi, bapak 2 anak ini.
Karenanya, ditegaskan lagi oleh Daulat Saragi, mengingat patung sebagai simbol merupakan teks filsafat Batak yang harus dibaca agar generasi muda Batak menjadi bangga sebagai bangsa Indonesia.
“Patung primitif Batak bagikan ensiklopedi yang menjelaskan segala cita, citra dan laku hidup masyarakatnya,” tuturnya lagi.